Short Stories
Gloomy November (2)

Kekecewaan berasal dari hujan pada senin pagi yang membuat payah sepatu. Kau dapati basah yang merembes pada serat kain dan perlahan menyentuh jari-jari kakimu. Kamu mengutuknya. Apa saja boleh asal jangan sepatu katamu.

Kekecewaan berasal dari segala ingatan yang kamu tahan agar lebih lama bertahan dan kamu harap itu yang dilakukan semua orang. Tapi tidak. Kamu sendirian. Kamu adalah orang yang berharap pada kekecewaan. Bukankah kekecewaan terjadi karena adanya harapan?

Sudah dua dekade katamu, dan ia melewatkannya begitu saja. Kamu menanti diujung gagang telephonemu. Tapi semakin hari kamu sadar bahwa kamu tidak akan pernah medapatkan penyesalannya.

Bukankah ia terbiasa membagikan segala keluhnya pada langit dan angin yang sampai pada jendela kamarmu? Mungkin ia hanya butuh perhatian pada bunga-bunga yang bermekaran setiap jam sembilan pagi dan melayu setiap matahari pergi. Dan kamu hanyalah ilalang yang bersembunyi dibalik pohon. Rapuh dan pasrah.

Kamu berharap, kamulah bunganya. Tapi nyatanya kamu hanyalah rumput liar yang akan dipupuk dengan sianida.

Apalagi yang kamu harapkan?

Bahwa ketika kamu mencabut akarmu dari tanah dan bergerak menemui ketulusannya tapi yang kamu dapati hanya kekosongan yang membuat daunmu menguning, kering, dan mati perlahan.

Lalu apa lagi yang kamu harapkan?

.

.

'Aku mencintainya'

.

.

Sederhana.

 

All relationships grow stale over time. That is when we make a choice to love one another enough to either let go or stay and work to mend what's become staid and boring. Communication is the foundation on which to build a successful partnership. Without it, the structure crumbles and you're left with the rubble.