Short Stories
Implisit

Langit seperti gumpalan kapas tebal berwarna muram yang menggelayut berat. Langit akan tumpah. Langit akan runtuh. Perlahan-lahan jatuh menjadi bulir-bulir cair yang mendentingkan genting. Riuh suara percakapan hujan dan genting disambung dengan guntur yang lebih muram dari mendung.

Air hujan tempias jatuh ke lantai, melalui fentilasi yang renggang, melalui dinding yang menganga, melalui genting yang berlubang. Aku mengintip keluar jendela dari sela horden. Kaca jendela buram berembun. Kusibak kain tipis itu cukup kasar. Cahaya melesat cepat ke dalam ruangan yang minim pencahayaan. Sementara diluar, hujan jatuh tak beraturan.

Jendela kubuka, kisinya berdecit. Bulir-bulir hujan langsung tempias berhamburan ke lantai. Angin terhempas meniupi bulu kuduk. Dingin. Instingku bergerak cepat ingin menutup jendela. Tapi serasa tertahan, aku kembali melihat jauh ke luar. “Apa kamu juga menikmati hujan ini?”, batinku. Jika saja kamu berada disini, di tempat ku berdiri, pasti kamu akan mengatakan, “Dimanapun, aku selalu menikmati hujan.”

Aku ingin mengetahui hujan seperti apa pagi ini. Ya, seperti yang kamu ajarkan, aku ingin memastikan hujan apa ini.