Short Stories
L A L U

Aku pernah jatuh cinta. Cinta membuat ku khusyuk saat berdoa. Cinta membuat indraku lebih peka. Cinta membuat hatiku dipenuhi asmara. Cinta membuat tali sepatuku lebih berwarna.

Cinta itu berwarna, seperti pelangi. Ya, cinta itu seperti pelangi. Susunan warna yang hadir sehabis hujan karena biasan matahari. Seperti kamu yang muncul disela langit berwarna emas. Menghipnotis bibirku yang getir menahan senyum saat melihatmu.

Aku ingat ketika mata kita bertemu pada suatu senja. Dengan sedikit senyuman yang mebuat kita semakin dekat tanpa sekat. Perbincangan yang  berakhir dengan senyuman. Senyuman yang berakhir dengan kecupan. Begitukan alurnya?

 

Malam ini udara seperti silet yang menyayat. Aku, kamu, dan dua gelas kopi hangat yang saling berhadapan, sedang berebut mencari sisa kehangatan dari meja sebelah yang sudah ditinggalkan oleh pasangan lain. Tetap diam dengan mata yang berusaha mengeja perasaan masing-masing.

Kamu melihatku, jauh kedalam mataku. Kamu tau bahwa ada rasa kecewa yang berlebihan di dalam sana. Aku menunduk salah tingkah. Bisa saja aku beralasan sekarang, tapi bukankah alasan semakin memperlihatkan kesalahan?

Hujan malam ini benar-benar memancing emosiku, tapi kubiarkan emosi luruh saja bersama bulir hujan yang mengetuk atap kafe. Hujan masih saja mengguyur malu-malu, rintiknya seperti meledek-ledak, jatuh pelan-pelan tanpa merasa bersalah.

Aku mencoba kembali ke saat itu. Saat dimana pertama kalinya mata kita bertemu. Saat senja yang membiaskan pelangi sehabis hujan. Aku berusaha mengingat setiap waktu untuk mencari sisa kamu. Nihil. Kemudian aku mencari sisa kamu di dalam secangkir kopi hangat, segelas kafein yang menemani kita berdekap setiap malam. Tetap nihil.

Waktu berjalan terlalu cepat. Lima tahun saling berdekap yang diawali kecupan hangat. Seperti aku yang mencari sisa kamu. Kamu pun mencari sisa aku. Mungkin dibibirku yang masih memberi senyum getir, senyum yang terlalu dipaksakan kali ini.

 

“Aku ingin jatuh cinta.” Kataku saat senja itu. Lalu kamu mengubah posisi dudukmu. Membuat kita semakin rapat tanpa sekat. Membuat kita terlalu asik mengasihi hingga kalah pada waktu, waktu yang kembali memberi jarak.

Aku masih berusaha mencari kamu, pada setiap sudut yang dapat ku datangi. Aku tidak siap mengalah pada waktu.

Cinta seperti pelangi, pelangi seperti kamu, dan kamu adalah cintaku yang seperti pelangi. Begitukah ternyata alurnya?

Pelangi itu hanya biasan malu-malu. Hadirnya seperti setetes air di gurun pasir, melegakan sesaat.

Dan apa aku akan kalah?

Tempat ini telah kuhafal mati. Bahkan aku masih ingat dimana saja sudut-sudut yang kita isi dengan menyudut-nyudut.

Tidak ada cinta yang sama seperti ketika matahari memecah menjadi warna-warna pelangi. Saat kita selipkan kecupan diakhir percakapan. Atau kehangatan yang selalu menggetarkan.

Apa kita berjalan terlalu cepat? Meloncati bagian-bagian tidak penting pada sebuah cerita dan akhirnya telah berada di penghabisan? Apa kita terlalu terlena pada nafsu, sehingga desahan tak membikin lagi pilu?

Aku hanya ingin sensasi jatuh cinta itu datang lagi padaku. Rasa berdebar-debar bila menunggu kedatanganmu, seperti ilalang di tanah lapang menanti sang hujan di musim kemarau. Bukan seperti rutinitas menunggu sang mentari muncul dari arah timur saat pagi hari.

Hujan telah reda. Langit tetap hitam, tidak ada pelangi, tidak ada biasan matahari. Memang tidak ada pelangi ditengah malam sayang. Seperti yang selalu kita percayai ketika musim penghujan datang bahwa akan ada pelangi di tengah malam. Tapi itu hanya  cerita fiksi yang kita karang bersama untuk selalu bersama.

Cinta tidak seperti pelangi. Karena pelangi adalah luapan nafsu dari mendung yang memberikan rasa rawan. Betapa tidak rawan ketika langit menjadi gelap, hitam, dan muram. Aku juga sedikit sangsi, dengan cinta yang kita sebut cinta. Apa ini cinta? Atau nafsu? Atau nafsu yang mengutil di dalam hati dan menyebar cepat, hingga menghilangkan rasa cinta itu sendiri.

Ada rasa takut kehilangan. Ada rasa membutuhkan. Tapi dimana cinta?

Sialan, aku benar-benar membutuhkan cinta saat ini. Cinta yang mencekik dengan rindu yang memekik. Aku butuh cinta seperti aku butuh kamu. Aku butuh kamu maka harusnya aku cinta kamu. Harusnya.

Aku, kamu, dan dua gelas kopi, kehilangan hangat yang telah menguap karena lelah menanti jamah. Gelas itu sekarang berdampingan, diam mematung. Seperti kita yang menatap kosong dalam buku-buku jari.

 

 

 

 

September 23, 2012

Seperti prediksi.